Kesehatan

PEMBAGIAN PERAN DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN KESEHATAN

Oleh : Nugroho Kuncoro Yudho*)

Nikmat terbaik dalam hidup adalah kesehatan. Tatkala dihadapkan dengan pilihan sehat atau sakit, seseorang pasti memilih sehat. Namun, selama ini kesehatan masih dipandang sebelah mata, terutama jika kita berbicara masalah pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Kalimat bijak yang menyatakan lebih baik mencegah daripada mengobati, seakan tidak pernah didengar. Masyarakat, umumnya telah memandang cukup apabila telah tersedia sarana pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan. Masyarakat terpuaskan tatkala mengunjungi sarana pelayanan kesehatan disambut dengan pola 3S (salam, sapa, senyum), apalagi pelayanan tersebut didukung dengan akses dan pembiayaan yang terjangkau.

Fakta tersebut barangkali terjadi di seluruh dunia, terutama di Indonesia. Masyarakat lebih peduli dengan sikap individualisnya dalam memenuhi hajat hidup, tanpa menghitung manfaat dan dampaknya untuk hari esok. Sebagai gambarannya adalah pola makan, perilaku merokok, perilaku membuang sampah dan dahak, perilaku seks bebas dan penggunaan NAPZA (narkoba), pengamanan lingkungan yang bersih dan sehat, serta aktifitas fisik.

Sebagian besar masyarakat bangga manakala mereka mampu memberi uang jajan kepada anaknya melebihi dari anak yang lain, tanpa mempedulikan apa yang mereka beli atau apa yang mereka makan. Ada pula orang tua yang bangga melihat anaknya gemuk, padahal status gizinya telah termasuk obesitas. Hal-hal tersebut sering terabaikan, terlebih perilaku masyarakat yang berpola konsumtif. Apa yang dilihat, itulah yang dibeli. Makanan apapun yang terlihat, itulah yang dimakan, tanpa memperhatikan apakah bergizi atau tidak, mengandung zat atau bahan berbahaya bagi kesehatan atau tidak, dan lain sebagainya.

Menyikapi hal tersebut, salahkah masyarakat? Secara sepihak dapat dikatakan iya. Namun, kita tidak bisa serta merta langsung menyalahkan masyarakat begitu saja. Masyarakat secara tidak sadar, bahkan mungkin tanpa pengetahuan yang benar, bersikap dan melakukan perilaku tersebut secara berkelanjutan. Jika memang demikian, tentunya ada orang, lembaga atau institusi yang bertanggung jawab dan bertugas menyampaikan pemberitahuan yang benar tentang kesehatan kepada masyarakat. Untuk itu, peran institusi kesehatan selaku penanggung jawab pembangunan di bidang kesehatan dituntut. Institusi tersebut tidak hanya bertugas membenahi infrastruktur pelayanan kesehatan saja, tetapi lebih dari itu, bagaimana membuat masyarakat sakit menjadi sehat dan yang paling penting membuat masyarakat sehat tetap sehat.

Membuat masyarakat sehat tetap sehat bukanlah hal yang mudah. Terlebih dengan kemajuan teknologi, informasi tentang apapun begitu cepatnya didapatkan. Apalagi informasi produk yang didukung dengan strategi promosi dan pemasaran yang sangat memikat, walaupun terkadang menyesatkan. Setiap orang yang melihat tayangan iklan atau spot produk tersebut akan terpikat dan cenderung untuk mencobanya. Alhasil, banyak produk yang sukses meraih pangsa pasar dengan berbagai metode dan strategi promosi yang dilakukannya. Bagaimana dengan kesehatan?

Iklan atau spot untuk kesehatan masih merupakan upaya promosi dan pemasaran yang dipandang sebelah mata. Bahkan masih dikategorikan upaya yang tidak produktif, dalam arti tidak dapat dilihat langsung dampak dan manfaatnya. Berbeda dengan strategi yang diterapkan oleh pengusaha barang atau jasa, di mana dampak dari promosinya akan langsung terlihat. Bagaimana iklan rokok atau makanan ringan sangat popular di masyarakat dengan dukungan promosinya. Bahkan pada berbagai kegiatan, beberapa produk rokok sanggup menjadi sponsor dalam upaya memperkenalkan dan memasarkan produknya. Sementara kesehatan, jangankan bertanding promosi dengan berbagai produk rokok dan makanan ringan, menghadapi promosi satu merek rokok atau satu merek makanan ringan saja sudah kewalahan. Sementara sumber daya manusia di sektor kesehatan masih belum siap menghadapi tantangan global dan berparadigma sakit, dimana penyediaan sarana dan prasarana kesehatan untuk orang sakit lebih diutamakan. Hal tersebut tidak lepas dari hasil pelaksanaan kegiatan di lapangan yang terkesan asal terlaksana dan asal anggaran terserap. Di samping itu juga dipengaruhi bahwa setiap sektor harus menghasilkan dampak yang cepat, adanya paradigma profit oriented (orientasi keuntungan), di mana dalam setiap kegiatan harus mendapatkan keuntungan – jika perlu sebesar-besarnya) – dan masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam mendukung pembangunan berwawasan kesehatan. Sekali lagi, salahkah masyarakat?

Melihat berbagai masalah kesehatan yang muncul, masyarakat masih layak disalahkan. Tetapi, berkaca dari berbagai pengalaman studi dan fakta di lapangan, ternyata masyarakat masih banyak yang tingkat pengetahuannya terhadap kesehatan masih rendah, walaupun level pendidikannya dapat tergolong layak dan tinggi. Bahkan sebagian dapat dikatakan belum melek kesehatan. Institusi kesehatan mungkin telah membuat kebijakan program dan kegiatan yang menyentuh langsung ke masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah terjadinya penyakit, lebih-lebih kejadian luar biasa, wabah dan bencana. Namun, aplikasinya di lapangan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya yang ada, baik itu manusia (man), dana (money), metode (method) dan peralatan (machine) maupun kondisi di lapangan.

Salah satu pakar kesehatan ( Hendrick L. Blum, 1978) mengemukan bahwa lingkungan merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi derajat kesehatan. Bahkan faktor lingkungan lebih dominan dari faktor perilaku. Lingkungan dapat berbentuk alam, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Lingkungan juga dapat berupa kebijakan yang tidak mendukung wawasan kesehatan. Sehingga, buruknya derajat kesehatan tidak bisa hanya ditangani atau diserahkan kepada sektor kesehatan atau hanya menyalahkan masyarakat atau mengambinghitamkan kebijakan yang kurang mendukung kesehatan. Rendahnya koordinasi, baik lintas program maupun lintas sektor turut mempengaruhi dari kegagalan suatu program. Setiap institusi cenderung menjalankan programnya sendiri-sendiri, tanpa melibatkan sektor terkait lainnya, bahkan terkadang lintas programpun tidak dilibatkan.

Setiap institusi, baik pemerintahan maupun swasta dalam perumusan, penyusunan dan penetapan kebijakan, program dan kegiatannya, sudah seharusnya memperhatikan aspek kesehatan dan lingkungan menjadi sasaran program dan kegiatan. Tidak hanya penyediaan sarana pendukung kesehatan dan lingkungan di institusi yang diperlukan, seperti tempat pembuangan sampah bertutup, sarana pembuangan air limbah yang memadai, kamar mandi / kakus yang sehat, larangan merokok di dalam area institusi, peralatan pemadam kebakaran dan perlengkapan pertolongan pertama, tetapi juga bagi masyarakat yang menjadi sasaran dan dampak program. Di samping itu, institusi juga perlu mengembangkan pola koordinasi antar lintas program dan lintas sektor untuk sinkronisasi program dan kegiatan. Jika perlu, dibentuk suatu forum koordinasi institusi yang membahas keberlangsungan program, terutama dengan sektor terkait dalam upaya mewujudkan pembangunan berwawasan kesehatan.

Sikap mandiri dan perasaan mampu mengatasi masalah kesehatan sendiri di institusi kesehatan sudah semestinya dihilangkan, karena akan menghambat proses pembangunan berwawasan kesehatan. Tengok saja, keberadaan posyandu yang hidup segan mati tak mau, kemudian usaha kesehatan sekolah (UKS) yang identik dengan penyediaan obat dan alat kesehatan tanpa kegiatan berwawasan kesehatan, ketergantungan organisasi berlebel kesehatan dengan institusi kesehatan atau rendahnya partisipasi masyarakat di bidang kesehatan menunjukkan bahwa selama ini institusi kesehatan merasa dapat mengatasi masalah organisasi dan masyarakat terkait dengan kesehatan, tanpa melibatkan sektor terkait untuk turut terlibat di dalamnya. Secara perlahan sektor terkait tersebut melepaskan diri dan merasa tidak mempunyai tanggung jawab dalam pembinaan terhadap masyarakat terkait dengan kesehatan. Dampaknya, institusi kesehatan  kewalahan menghadapi tuntutan masyarakat, terutama upaya kesehatan berbasis masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Sudah waktunya institusi kesehatan meningkatkan komunikasi dan koordinasi serta berbagi peran sesuai peraturan yang ada dalam pelaksanaan program dan kegiatan yang bersentuhan dengan masyarakat.

Pada saat pelaksanaan kegiatanpun, kebersamaan lintas program dan lintas sektor sangat diharapkan. Masyarakat dapat memahami keterbatasan pemerintah – dalam hal ini institusi penyelenggara pelayanan terkait – dalam melaksanakan program dan kegiatan. Namun, masyarakat perlu mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar sesuai dengan kondisi yang ada. Di samping itu, masyarakat perlu mendapatkan pembinaan untuk mencapai taraf kesadaran dan kemandirian dalam berperilaku hidup bersih dan sehat guna mendukung pembangunan berwawasan kesehatan. Hal tersebut, tidak akan dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan semata, tetapi perlu keterlibatan berbagai sektor termasuk sektor swasta.

Peranan sektor swasta dalam mewujudkan pembangunan berwawasan kesehatan dirasakan masih kurang. Sektor swasta masih berpola profit oriented dan cenderung mengabaikan kewajiban corporate social responsibility (tanggung jawab sosial terhadap masyarakat sekitarnya). Akibatnya, banyak masyarakat yang mengeluhkan keberadaan pihak swasta yang semestinya memajukan daerah setempat, namun pada kenyataannya tidak ada kepedulian dalam pengembangan wilayah sekitarnya. Maraknya demonstrasi menentang kedatangan investor dan pendirian usaha swasta, tidak lepas dari rendahnya manfaat yang dirasakan masyarakat dari keberadaan pihak swasta tersebut. Seandainya pihak swasta dapat memainkan peran dalam meningkatkan pembangunan dan pengembangan wilayah di sekitarnya termasuk dalam upaya pemberdayaan masyarakat setempat dengan pola CSR dan tidak hanya mengejar profit semata, tentu akan sangat memperoleh simpati dan dukungan dari masyarakat di sekitarnya.

Bertolak dari hal tersebut, sudah saatnya pemerintah (berbagai institusi pemerintahan), pihak swasta dan masyarakat berbagi dan memainkan peran dalam panggung yang sama untuk mewujudkan pembangunan berwawasan kesehatan. Keterlibatan berbagai komponen masyarakat, dari unsur pemerintahan, swasta dan masyarakat sangat diperlukan. Tidak ada hal yang tabu dalam melakukan komunikasi, koordinasi dan sinkronisasi program dan kegiatan untuk mendukung pembangunan di bidang kesehatan. Semua elemen masyarakat – tanpa terkecuali – seharusnya peduli dengan kesehatan, tidak hanya dengan proyek bidang kesehatan. Peran organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan profesi juga turut menentukan dalam mewujudkan pembangunan kesehatan, terlebih lagi untuk mencapai cita-cita masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat. Jika tidak dari sekarang, kapan lagi dilakukan. Jika tidak mulai dari kita, siapa lagi yang diharapkan memulainya.- (Telah diterbitkan oleh Kalteng Pos pada tanggal 11,12,14 Februari 2011)

*)            Penulis adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, berdomisili di Sampit, Kalimantan Tengah dan sedang menyelesaikan pendidikan di Minat Perilaku dan Promosi Kesehatan, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tinggalkan komentar